KH. HASYIM HASAN FATAH
(Pendidik dan Pejuang Aswaja)
Oleh :
KH. M. Juhar Hatta Hasan
|
Kelahiran dan Asal-Usulnya:
Dilahirkan di dusun Jambansari Parakancanggah
pada tanggal 7 Juli 1938 dengan nama Hasyim. Putera pertama dari tujuh orang
putera-puteri KH. Hasan Fatah dengan Ny.
Sama'i ini sejak kecil tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayah da
ibunya di lingkungan Pondok Pesantren yang telah di rintis oleh kakeknya KH.
Abdul Fatah, putera Kyai Naqim (Maqim) dari sawangan Madukara.
Hasyim kecil masih menjumpai kakeknya. Saat
kakeknya wafat, ia masih berusia 4 tahun. Kondisi ini sangat memberikan
pengaruh kejiwaan padanya di saat beinteraksi dengan sang kakek yang terkenal
seorang yang 'alim,faqih dan riyadloh.
Sementara ibunya, Ny. Sama'i merupakan puteri ketiga
dari H. Abdusshomad Koplak Banjarnegara. Kakek dari ibunya ini diriwayatkan
berasal dari Yogyakarta.
Pendidikannya :
Hasyim kecil mendapat bimbingan dan
pendidikan agama langsung dari ayahnya.
Menurut riwayat, ayahnya sangat keras sekali dalam membimbing mengaji kepadanya
agar mampu mengaji. Di samping itu, ia juga pernah mengaji kepada Kyai Ahmadi
di pesantren Purwanegara.
Di sela-sela mengaji
tersebut, Hasyim kecil juga belajar di Sekolah Rakyat (SR) hingga tamat pada
tahun 1953, kemudian meneruskan di SMP PGRI (sekarang menjadi Perguruan Taman
Siswa) Banjarnegara hingga selesai pada tahun 1957.Selepas dari SMP, ia
meneruskan pendidikan di PP Al-Wahdah lasem rembang, di bawah asuhan romo KH.
Baedlowi Abdul Aziz.
Selama mondok di lasem
inilah pribadi hasyim benar-benar di bentuk sebagai calon 'ulama' dengan menmpa
diri untuk memperdalam ilmu agama. Ketekunannya di pondok hingga dipercaya
menjadi Lurah pondok di PP. Al-Wahdah Lasem, sehingga selain mengaji beliau
juga di minta membantu Kyai untuk mengajar para santri serta ikut berdakwah di
masyarakat. Pengalaman menjadi lurah pondok ini juga nantinya menjadikan
pribadi Hasyim nantinya menjadikan pribadi Hasyim yang tengah menginjak usia
remaja mampu mengorganisir dakwah di masyarakat maupun di pesantren.
Saat mondok di Lasem semua
'Ulama' yang ada menjadi tujuanya dalam mengaji, sehingga selain mengaji kepada
KH. Baedlowi Abdul Aziz, juga mengaji kepada Mbah KH. Ma'shum, Syaikh Masduqi
dan KH. Thoblawi Tuyuhan. Kyai Hasyim juga pernah tabarukan di tempat
KH. Asya'ari PP. Poncol Beringin Salatiga untuk mengaji kitab Shahih Bukhori.
Pernikahanya :
Setelah lama mondok di Lasem, akhirnya Allah
SWT. Mentadirkan Kyai Hasyim mejadi menantu gurunya yaitu KH. Thoblawi Tuyuhan
pada tahun 1962. Kyai Hasyim menikah dengan Ny. Siti Mas'udah puteri ketiga
dari KH. Thoblawi Tuyuhan dengan Ny.Hj. Rabi'ah Adawiah Tuyuhan. KH. Thoblawi
adalah putera pertama KH. Ibrohim, seorang 'ulama' dari Tuyuhan Lasem yang
memiliki garis keturunan dari Mbah Sambu (Sayyid Abdurrahman Basyaiban) Lasem.
Setelah menikah, Kyai Hasyim masih meneruskan
ngaji di pondok. Tiga tahun kemudian pada tahun 1965, beliau mulai hidup
bersama istri dengan memboyongnya ke parakan canggah.
Kehidupan awal rumah tangga beliau benar-benar
dimulai dari titik nol, sehingga lika liku kehidupan yang serba sulit pernah di
laluinya. Meski demikian, kesibukanya mencukupi kehidupan keluarga tidak
menghalanginya untuk terus membantu ayahnya dalam mengaji kepada para santri.
Dari pernikahan tersebut, hingga wafat kyai
Hasyim di karuniai 8 anak dan 16 cucu. Semua putera-puterinya senantiasa tidak
pernah lepas dari pendidikan pesantren.
Mempelopori pengmbangan PP Al-Fatah :
Perkembangan dan kemjuan PP Al-Fatah saat ini
tidak terlepas dari pemikiran dan perjuangan Kyai Hasyim. Saat pulang dari
pesantren Lasem, kondisi PP Al-Fatah masih sangat sederhana. Saat itu yang
berkembang hanyalah murid Thoriqoh Naqsabhandiyyah- Kholidiyyah dan Pondok
putera. Dari sisi fisik pun juga hanya berupa bangunan masjid dan kamar santri
saja.
Melihat kondisi yang seperti ini dalam
catatan pribadinya Kyai Hasyim pada wal
perjuangannya bersama ayahnya KH. Hasan Fatah, pamanya KH. Ridlo Fatah dan
adiknya KH. Ali Hanan membenahi dan mengembangkan PP Al-Fatah agar semakin maju
dan berkembang.
Usaha tersebut semakin gencar lagi saat beliau
meneruskan ayahnya sebagai pengasuh dan mursyid Thoriqoh semenjak di tingal
wafat ayah nya pada tahun 1990. Di antara perjuangan dan pengembangan PP Al-
Fatah Banjarnegara yang beliau pelopori antara lain:
1.
Pembangunan Aula PP
Al-Fatah
Pembangunan ini bermula
karena belum adanya tempat pengajian bagi ibu-ibu muslimat di lingkungan
pondok. Akhirnya tanah wakaf Mbah KH. Hasan Fatah yang asalnya berupa kolam di
bangunlah aula dengan dana yang di dapat dari swadaya jama'ah serta ikhwan
Thoriqoh.
2.
Pembangunan Pondok
pesantren Putri Al-Fatah
Perintis dan pembangunan
PP Puteri Al-Fatah ini di awali dengan upaya mencari dana untuk memberi tanah
dari keluarga almarhum Mbah KH. Hamzah hingga pembangunan gedungnya. KH hasyim
saat itu bertindak sebagai ketua panitia, Mbah KH. Ridlo sebagai sekertaris,
sementara KH. Ali Hanan yang berusaha mencari donasi dari pihak luar
(pemerintah). Atas usaha keras ini, akhirnya terbangun dua lantai untuk PP Puteri
Al-Fatah.
3.
Pembangunan Gedung
Pasulukan
Pada mulanya tempat
pasulukan sangatlah sederhana, sehingga di kembangkan dengan pembangunan gedung
berlantai dua. Pembangunan ini juga di pelopori KH. Hasyim Hasan bersama Mbah
KH. Ridlo Fatah. Adapun pendanaan berasal dari infaq para ikhwan/ikhwati
Thoriqoh.
4.
Pengembangan Tanah Wakaf
Karena sangat terbatasnya
lahan PP Al- Fatah, KH. Hasyim bersama KH. Ridlo memprakarsai perluasan tanah
wakaf di daerah Pacet dengan mengajak ikhwan/ ikhwati Thoriqoh untuk turut andil
dalam wakaf. Tanah yang dibeli adalah tanah keluarga almarhum KH. Hamzah saat
ini bisa di manfaatkan untuk gedung MTs Al-Fatah, SMK Al-Fatah dan MA Al-Fatah.
5.
Pembangunan Sekolah Formal
di Lingkungan PP Al-Fatah
Rintisan sekolah formal di
lingkungan di mulai dengan pendirian Yayasan PP Al-Fatah pada tahun 1975 yang
di ketahui pertama kali oleh Kyai Hasyim. Dari sinilah kemudian KH. Ali Hanan
di batu KH. Zainal Abidin merintis berdirinya sekolah MTs, MA hingga SMK.
Terlebih setelah Kyai Hasyim Agak terganggu keshatanya, kepengurusan Yayasan Al-Fatah
di teruskan KH. Ali Hanan.
6.
Pembangunan Masjid PP
Al-Fatah
Gagasan renovasi Masjid,
di munculkan KH. Hasyim setelah beliau pulang menunaikan ibadah haji yang ke
dua (1997), hingga akhirnya saat ini masjid dibuat menjadi dua lantai. Sebagian
besar dana pembangunan Masjid berasal dari infaq ikhwan dan ikhwati Thoriqoh
serta para jama'ah Masjid.
7.
Pembangunan Asrama Putera
PP Al-Fatah
Karena kondisi bangunan
semakin memprihatinkan, KH. Hasyim mempelopori pembangunan asrama putera dengan
dari para ikhwan/ikhwati Thoriqoh serta para wali santri. Pembangunan tahap
pertama pada komplek asrama sebelah barat yang di bangun dua lantai. Kemudian
tahap kedua komplek asrama sebelah timur hingga menjelang akhir hayat beliau,Al-hamdulillah
atas izin Allah swt telah berdiri tegak dua unit gedung asrama puetra dua
lantai beserta kamar mandi yang sangat representatif.
Kegigihannya sebagai pendidik
Setelah menikah, kehidupan Kyai Hasyim diawali dari titik
nol. Sebagai alumni pesantren, Kyai Hasyim memiliki aktifitas yang utama
membantu ayahnya KH. Hasan dalam mengajar para santri. Meskipun kondisi ekonomi
serba pas – pasan semangat Kai Hasyim untuk mendidik santri tidak pernah lelah.
Pada mulanya, Kyai Hasyim mengajar pengajian kitab –
kitab kuning bersama KH. A. Dalimi. Disamping itu pernah pula K. Azizi Thoblawi
dan KH. Mujtahidi Thoblawi (adik Ibu Ny. Hj. Mas'udah Hasyim) saat masih lajang
turut membantu mengajar mengaji.
Kegiatan rutin KH. Hasyim di pondok biasanya setiap ba'da
shubuh sorogan kitab santri puteri, ba'da dluhur sorogan kitab santri putera,
kemudian ba'da ashar mengaji kitab, di lanjutkan ba'dal 'isya juga untuk
mengaji hingga larut malam.
Di siang hari di samping bertani, Kyai Hasyim juga pernah
berdagang serta menjadi guru honorer di PGAN Banjarnegara selaa 6 tahun serta
menjadi Hakim Honorer di Pengadilan Agama Banjarnegara.
Kegiatan pengajian kitab tersebut semakin padat lagi jika
telah memasuki bulan Ramadhan. Pengajian bulan Ramadhan dilakukan hampir tiap
waktu sampai malam hari.
Kegiatan pengajian kitab ini dilakukan Kyai Hasyim dengan
sangat telaten dan istiqomah. Sampai terkadang jika santri belum ada yang
datang, beliau tidak segan-segan untuk mengaji.
Saat ayahnya KH. Hasan wafat pada tahun 1990, aktifitas
Kyai Hasyim semakin padat lagi. Di mana beliau beliau selain menjadi pengasuh
PP Al-Fatah, juga sebagai mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyyah Kholidiyyah.
Aktifitas Kyai Hasyim di samping mengajar mengaji santri juga membimbing para
murid Thoriqoh, terutama di saat sedang suluk di bulan Muharram, Rajab, dan
Ramadhan.
Bagi masyarakatKyai Hasyim merintis pengajian lapanan
setiap hari Ahad wage beserta Pengurus Cabang NU Banjarnegara saat itu di aula
PP Al-Fatah. Pengajian ini hingga saat ini masih terus berlangsung. Kemudian
beliau juga merintis pengajian kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali
setiap Ahad pagi di serambi Masjid Al-fatah.
Di saat putera-puteri beliau telah selesai mondok,
kegiatan pengajian Kyai Hasyim dibantu oleh putera-puteri serta puteramenantu
beliau. Salah satu sifat yang beliau miliki sepengetahuan penulis, Kyai Hasyim
senang mengkader yang muda-muda untuk turut mengajar mengaji dan berjuang.
Pengalaman penulis, saat bulan Sya'ban 1416 H menikah dengan puteri beliau (Fitri
Muhlishoh ), pada bulan Ramadhan langsung diminta mengajar kitab yang cukup
banyak, meskipun secara fisik beliau masih memungkinkan mengajar.
Begitu pula di setiap menghadiri pengajian di masyarakat,
beliau sering mengajak yang muda-muda untuk berkiprah. Pengalaman penulis
sendiri, jika mendampingi beliau di setiap pengajian, beliau sering menyuruh
penulis memberikan pengajian dahulu, baru kemudian beliau memberikan mau'idlah
yang terakhir dan menutup dengan doa.
Karena itu, setelah beliau sakit cukup parah pada tahun
2003 di Rsu Margono, meski secara fisik kesehatan menurun, namun belau tetap
terus mengajar dan membimbing. Beliau selalu mengontrol jika ada pengajian yang
masih kosong untuk diisi. Bisa dikatakan, dalam kondisi sakit, Kyai Hasyim
membimbing yang muda-muda dengan cara memberikan kesempatan dan dorongan kepada
mereka untuk mbadali (menggantikan) jadwal mengaji beliau.Beliau sangat
gembira sekali jika melihat yang muda-muda bisa mengajar ngaji kapada para
santri maupun masyarakat.
Wal hasil,meskipun beliau sudah lemah fisiknya masih
terus membimbing dan mendidik.sampai,tatkala detik-detik menjelang wafat,
beliau sebenarnya dalam posisi menghadiri pengajian kitab kifayatul atqiya'
bersama para kyai yang diadakan rutin oleh idaroh syu'biyyah Jam'iyyah ahlith
Thoriqoh al-Mu'tabaroh al-Nahdliyyah Kabupaten Banjarnegara.
Perjuangannya Membentengi Aswaja
Si sela-sela mengajar dan berbagai aktifitas tesebut,
Kyai Hasyim selalu menyempatkan aktif di berbagai organisai kemasyarakatan dan
keagamaan, terutama di bawah naungan Nahdlatul Ulama' (NU). Diawali sebai ketua
PC GP Anshor Kabupaten Banjarnegara, kemudian menjadi ketua PCNU Banjarnegara,
Rois Syuriyah PCNU Banjarnegara, mustasyar PCNU Banjarnegara, Rois Idaroh
Su'biyyah Jam'iyyah ahlith Thoriqoh al-Mu'tabaroh al-Nahdliyyah (JATMAN)
Kabupaten Banjarnegara, Rois Awwal Idaroh wustho JATMAN Provinsi Jawa Tengah
dan anggota Majlis Ifta' Idaroh aliyah JATMAN.
Perjuangan KH. Hasyim selain menjadi guru, Ustadz, Kyai,
hakim juga dihabiskan untuk memperjuangkan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'hingga
akhir hayatnya. Seperti diketahui, saat beliau wafat, Kyai Hasyim masih
tercatat sebagai Mustasyar PCNU Banjarnegara dan Rois Idaroh Syu'biyyah JATMAN
Banjarnegara.
Semangat perjuangan KH. Hasyim melalui Jam'iyyah NU
karena didasari perjuangan untuk membela 'aqidah ahlisunnah wal jama'ah
(ASWAJA). Menurut pengamatan penulis, KH. Hasyim jika dalam kondisi sehat
selalu berusaha hadir di setiap ada acara pertemuan para 'alim 'ulama', baik
pada forum Muktamar NU, Muktamar Thoriqoh, Munas NU, Munas Thoriqoh maupun
Manaqib Kubro Thoriqoh. Kecintaan pada Jam'iyyah NU dan Thoriqoh dilandasi
karena kecintaan beliau pada para 'ulama' sebagai pewaris para nabi. Beliau
sangat senang sekali bila bisa silaturrahiem dengan para 'ulama' .
Pertemanan dengan Gus Dur
Ketekunan Kyai Hasyim dalam menggerakan Jam'iyyah NU
menjadikan dirinya memiiki relasi dengan para tokoh NU baik tingkat lokak
maupun nasional. Relasi yang sangat erat terjadi dengan KH. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Menurut Kyai Hasyim, kedekatan dengan Gus Dur bermula saat acara
halaqoh di Cilacap, kemudian diteruskan saat Gus Dur bersedia menjadi pembicara
saat Haflah Akhirussanah PP Al-Fatah serta Apel Akbar NU
di Alun-alun Banjarnegara.
Kejadian yang tak pernah terlupakan bagi Kyai Hasyim
bersama Gus Dur adalah, tatkala akan menuaikan ibadah haji pertam kali pada
tahun 1991. Saat itu karena Kyai Hasyim menuaikan ibadah haji dengan paspor
hijau mendapat kesulitan mengurus visa di Kedutaan Saudi Arabia, karena musim
haji tahun itu bersamaan presidan Soeharto juga menuaikan ibadah haji, sehingga
sangat ketat sekali bagi mereka yang akan berhaji dengan paspor hijau.
Di tengah keputusasaan untuk mengurus visa tersebut, Kyai
Hasyim sowan ke Gus Dur yang saat itu menjadi Ketua Umum PBNU di kantor PBNU
Jl. Kramat Raya. Saat bertemu Gus Dur
Kyai Hasyim menceritakan niatnya untuk pergi haji dan Gus Durpun menyambut
dengan senang sekali, namun Kyai Hasyim menceritakan kesulitan mengurus visa,
spontan Gus Dur mengetik sendiri untuk membuat surat ke Kedubes Arab Saudi,
setelah mendapat surat tersebut Kyai Hasyim segera bergegas ke Kedubes Arab
Saudi dengan menyampaikan surat dari Gus Dur. Akhirnya atas izin Allah, tidak
berselang lama Kyai Hasyim diberi visa oleh Kedubes Arab Saudi dan segera
berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.
Kedekatan Kyai Hasyim dengan Gus Dur juga penulis
saksikan sendiri, saat penulis akan wisuda S-2 di IAIN(UIN) Syahid Jakarta pada
tahun 1998,saat itu meski Gus Dur dalam kondisi sudah tidak bisa melihat, baru
mendengar suara Kyai Hasyim langsung menyambutnya dan mengenali akan kehadiran Kyai
Hasyim dan Nyai Hasyim, sehingga Gus Dur mengajak bicara cukup lama seperti
sahabat yang lama tak bertemu.
Pertemuan Kyai Hasyim dengan Gus Dur berikutnya Setelah
Gus Dur tidak menjadi presiden. Sehabis menghadiri acara walimatul 'Ursy
di Kebumen Gus Dur menyempatkan silaturahim ke kediaman Kyai Hasyim.
KH.Hasyim Hasan Sakit
Dalam perjalanan hidupnya,
Kyai Hasyim pernah mengalami dua kali kecelakaan lalu lintas yang cukup parah.
Pertama saat perjalanan dari Banjarnegara menuju Wonosobo yang mengakibatkan
patah tulang. Kedua saat perjalanan pulang dari Demak keBanjarnegara. Dari
kedua peristiwa tersebut, secara medis memberikan dampak yang cukup
berpengaruhpada kesehatan Kyai Hasyim di masa masuki usia senja.
Pada tahun 2003, setelah
menunaikan shalat Idul Fitri Kyai Hasyim merasa kurang sehat. Akhirnya, karena
di Banjarnegara para dokter Rumah Sakit masih banyak yang cuti dibawa ke RSUD
Margono Purwokerto. Setelah di bawa ke RSUD Margono rupanya kondisi kesehatan
beliau semakin parah, sehingga sempat di rawat hampir satu bulan. Atas izin
Allah swt, Kyai Hasyim masih diberi umur panjang dan diberi kesembuhan.
Meskipun telah sembuh di
usianya menginjak 66 tahun tersebut, kondisi fisik Kyai Hasyim mualia menurun,
sehingga banyak aktivitas yang mulai dikurangi dengan memberikan kepercayaan
kepada yang muda-muda untuk menggatikan. Selain dari itu, sejak sakit yang
cukup parah tersebut, Kyai Hasyim berkali-kali masuk Rumah Sakit, baik di RSI
Banjarnegara, RSUD Banjarnegara maupun RSU Nirmala Purbalingga. Bahkan pernah
pula berobat ke Rumah Sakit Paru-paru Salatiga.
KH. Hasyim Hasan Wafat
Menjelang Kyai Hasyim
wafat, sebenarnya kondisi beliau sedang tidak merasakan sakit yang berarti.
Bahkan bisa dibilang saat menjelang wafat beliau dalam kondisi sehat sekali
dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Enam hari sebelum wafat
(Minggu Pon, 14 April 2013) Beliau mengundang seluruh anak cucu Mbah KH. Hasan
untuk mengadakan pertemuan Bani Hasan Fatah di kediaman beliau. Dua hari
sebelum acara tersebut, beliau memerintahkan penulis untuk membuatkan undangan.
Akhirnya pertemuan pun terlaksana pada hari Minggu Pon tersebut mulai jam
09.30. Keluarga besar Bani KH. Hasan Fatah yang tinggal di Banjarnegara hampir
semua menghadiri acara tersebut. Acara ini menjadi istimewa karena tidak
mengira jika saat itu merupakan ajang pertemuan terkhir Kyai Hasyim, karena
enam hari setelahnya beliau wafat.
Pada hari Selasa Kliwon,
16 April 2013, Kyai Hasyim ta'ziyah ke Wonosobo atas wafatnya KH. Taftazani
Damanhuri, sepupu beliau ( Ibu KH. Taftazani adalah kakak Mbah KH. Hasan).
Bahkan saat pelepasan di Masjid Al-Fatah pun Kyai Hasyim juga melepasnya dengan
memberikan sambutan dan doa. Banyak yang merasakan bahwa saat memberikan
sambutan tersebut, Kyai Hasyim nampak sehat dan lantang sekali suaranya.
Pada hari Kamis, 18 April
2013, KH. Ahmad Warson Munawwir wafat. Bagi Kyai Hasyim hubungannya dengan Kyai
Warson semakin dekat karena sama-sama memiliki putera yang besannya sama dari
Kediri. Karena itu, putera-puteri beliau
banyak yang bertakziyah ke Yogyakarta. Pada hari Jum'at, 19 April 2013 pagi,
penulis seperti biasa setelah dari Yogyakarta menjumpai beliau kediaman. Kyai
Hayim tampak sehat sekali, menanyakan kabar dari Yogyakarta, menanyakan petugas
khotbah Jum'at, di mana saat itu jika petugas berhalangan pesan beliau supaya
penulis menyiapkan diri menjadi badal. Jum'at siang, beliau menuaikan shalat
jum'at yang kebetulan berangkat ke Masjid beriringan dengan penulis.
Saat shalat Jum'at –di
mana penulis menjadi Khotib- beliau benar benar tampak sehat. Seusai Khotbah,
beliau mengingatkan adiknya KH. Bunyamin agar nanti di adakan sholat ghoib
untuk untuk al-Maghfurlah KH. Warson Yogyakarta. Seusai sholat Jum'at, beliau
juga memimpin langsung acara tawajjuhan, penulis juga masih sempat menemani
beliau di ndalem untuk duduk-duduk dan berbincang-bincang di ruang tengah.
Salah satu materi perbincangan adalah menanyakan persiapan acara ziaroh wali
songo dan pengajian Sabtu Wage. Disaat bincang-bincang, beliau juga menerima
tamu wali santri dari Bakal Batur dengan anaknya yang sebentar lagi akan
mengikuti UN Mts. Kyai Hasyim terus memberikan arahan untuk shalat malam dan
banyak membaca shalawat.
Pada Jum'at malam Sabtu
(ba'dal isya'), penulis menelpon di ruang tengah ndalem, kemudian karena beliau
mendengar suara penulis, beliau memanggil-menggil dari dalam kamar untuk di
tuntun ke ruang tengah. Saat duduk-duduk di ruang tengah beliau banyak mengajak
berbincang-bincang dengan penulis, termasuk menanyakan jumlah jama'ah ziaroh
walisongo berapa bus dan dari mana saja serta persiapan acara pertemuan Kyai
besok Sabtu Wage. Tidak lama kemudian, istri penulis (Hj. Fitri ), Mbak Hj.
Durroh, Mas H. Syafi' dan temasuk Ibu Ny. Hj. Hasyim ikut berkumpul bersama.
Pembicaraan akhirnya semakin hangat lagi hingga agak larut malam.
Sabtu Wage, 20 April 2013,
dikisahkan beliau malam harinya banyak nderes surat-surat pendek dan membaca
sholawat. Bahkan, kegiatan itu dilakukan beliau juga beberapa malam sebelumnya.
Sampai waktu shubuh, beliau masih menunaikan shalat shubuh. Sehabis shalat
shubuh, seperti biasa beliau duduk di ruang tengah, lalu ketika matahari mulai
terik berjemur hingga menjelang pukul 09.00. setelah berjemur kemudian kembali
ke ruang tengah untuk persiapan sarapan pagi. Saat itu juga masih ada tamu yang
mengkhabarkan akan bai'at thoriqoh serta ada santri yang minta do'a restu akan
mengikuti perlombaan porseni yang dilaksanakan hari itu di aula PP Al-Fatah.
Setelah selesai makan pagi beliau istirahat di kamar, sambil pesan bila nanti
telah berkumpul para Kyai di ruang depan akan menghadiri acara pengajian kitab Kifayatul
Adqiya' tersebut.
Tidak berapa lama, sekitar
pukul 09.50 menjelang dimulainya acara pengajian, beliau terasa pegal dan
sesak. Saat itu telah berkumpul sekitar 50 lebih para Kyai yang akan mengikuti
pengajian dan musyawarah. Akhirnya beliau berpesan supaya penulis memulai acara
musyawarah para Kyai terebih dahulu.
Karena kondisi beliau
semakin kurang baik, sekitar pukul 10.30 keluarga akhirnya membawa beliau ke
RSUD Banjarnegara. Setelah di UGD RSUD Banjarnegara tidak berapa lama kemudian
sekitar pukul 11.15 Allah SWT menghendaki beliau untuk sowan kepada-Nya, Innaa
lillahi wa innaa ilaihi roji'uun.
(Tulisan ini di ambil dari
berbagai sumber dan keterangan saksi serta dokumentasi / catatan Almaghfurlah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar