EKSISTENSI ISLAM DI
ERA GLOBALISASI
Makalah ini dibuat
guna melengkapi tugas Akhir pertemuan PAI Semester 1
PENYUSUN:
ARIF HIDAYAT
Pendahuluan
Penyusun
:
Arif
Hidayat
PENYUSUN:
ARIF HIDAYAT
Pendahuluan
·
Latar belakang masalah
“Tidak ada manusia yang stagnan” demikian
isyarat yang ditampakkan oleh sosiolog Auguste Comte, Talcott Parsons, juga
Charles Darwin. Ketiganya mengisyaratkan terjadinya pergerakan yang dialami
manusia yang membawa pada sebuah perubahan sosial. Bagi Parsons perubahan
sosial tersebut merupakan “gerak dasar’ bagi setiap manusia (masyarakat), dan
merupakan seleksi alam bagi Darwin, dan arus perubahan ini akan terus berjalan
karena merupakan hukum evolusi sosial-yang tidak dapat dihentikan-sebagaimana
diteorikan oleh Comte.
·
Rumusan Masalah
Seturut perputaran waktu, spektrum perubahan yang
terdapat di masyarakat semakin dinamis. namun yang mesti diwaspadai, laju
perubahan tidak selalu mengarah pada perubahan yang positive, namun cenderung
negative. Hal ini dipengaruhi oleh banyak factor, seperti factor geografis,
politik, ekonomi, agama, dan perkembangan zaman yang membayangi kehidupan
sosial manusia.
·
Pembatasan Masalah
Hari ini kehidupan manusia telah sampai pada
sebuah era yang menghendaki hilangnya batasan-batasan diantara manusia. Sebuah
zaman yang kita kenal sebagai era Globalisasi. Globalisasi menjadi klimaks
(bukan antiklimaks, karena mungkin akan ada fase selanjutnya) dari fase
perkembangan peradaban manusia. Sebuah era yang ditandai oleh banyak
penemuan-penemuan baru diberbagai bidang, dan telah dianggap membawa manusia ke
perubahan peradaban yang begitu fantastic.
Globalisasi membawa visi membangun kehidupan
yang modern, yang akan memberikan kemudahan dalam kelangsungan hidup manusia.
Secara praktis, manusia dibikin mudah oleh temuan modernitas; menciptakan
kemungkinan bagi perbaikan taraf hidup manusia, mengangkat penderitaan fisik,
dan meringankan beban berat manusia. Era ini (Globalisasi) telah menghilangkan
sekat pemisah bagi manusia disegala penjuru dunia, dimana setiap individu dapat
mengakses secara mudah perkembagan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak
cepat dari hari
ke hari.
Arus Globalisasi disertai juga oleh perubahan
sosial yang begitu compleks. Komplekstias perubahan tersebut meliputi (hampir)
seluruh dimensi kehidupan manusia. Tidak hanya pada dimensi ekonomi-politik
(yang merupakan pintu masuk Globalisasi) tapi juga menyerang sisi kebudayaan
suatu Negara tak terkecuali juga sisi keagamaan (religiousitas) masyarakat
kita. Perubahan social yang begitu “dramatis” telah melanda kehidupan beragama
kita dan merupakan persoalan baru dan tantangan tersendiri bagi sebuah Agama
yang masih eksis di tengah-tengah kehidupan yang modern nan global.
Salah satu persoalan krusial sebagai dampak
proses gloobalisasi yang terkait dengan kehidupan keagamaan adalah semakin
menipisnya ruang “religousitas” dalam kehidupan manusia. Temuan-temuan empiric
dan perkembangan pengetahuan menghadapkan kepada manusia (beragama) sebuah
realitas akan kekuasaan manusia di muka semesta ini. Hal-hal yang seblumnya dianggap
sebagai “misteri Tuhan” satu persatu, telah jatuh ke tangan manusia melalui
eksperimentasi yang mereka lakukan. Maka tak ayal agama pun semakin kehilangan
daya signifikansi dan perannya di tengah kehidupan manusia[2].
Dan masih ada banyak permasalahan lagi yang timbul karena dampak proses
Globalisasi. Hanya sekedar menyebutkan; ada permasalahan “dehumanisasi’ dalam
bidang social, terbukanya pola “pasar bebas” dalam bidang ekonomi, tersebarnya
praktik “demokrasi liberal” dalam bidang politik, dan ancaman lunturnya
“kearifan local” dalam bidang kebudayaan. Tapi makalah ini tidak akan
mengeksplor semua permasalahan-permasalahan tersebut, tapi akan lebih
terkonsentrasi pada persoalan keagamaan.
Tantangan keagamaan dewasa ini, terutama
banyak mengarah kepada agama Islam yang merupakan agama dengan jumlah penganut
terbanyak di dunia. Juga karena adanya persilangan Idology dan Paradigma dalam
mmelihat muatan-muatan globalisasi yang saat ini tengah didominasi oleh
peradaban Barat. Perselisihan antara Islam dengan Barat juga menjadi bagian
yang telah memberikan warna tersendiri dalam era globalisasi.
Substansi penulisan makalah ini akan banyak
berbicara seputar islam dan globalisasi. Dalam bab pembahasan, akan dibahas
seputar definisi globalisasi secara umum, dan secara khusus akan dilihat dari
perspektif Islam. Juga tentang benturan-benturan Islam dengan Barat (sebagai
peradaban yang lebih dominan), dan penulis mencoba melihat posisi (reposisi)
Islam, karena ini akan sangat berkaitan dengan eksistensi Islam di era
Globalisasi.
Pembahasan
“Eksistensi Islam di Era Globalisasi”
a. Pra-wacana
Globalisasi yang melanda dunia tidak
hanya pada satu bidang saja, tetapi terdapat pada berbagai bidang.
Seperti politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama. Globalisasi yang terjadi
di berbagai bidang tentu saja akan memberi pengaruh dan membawa perubahan bagi
dunia di masa yang akan datang.
Dalam era globalisasi saat ini, tentu akan
terdapat perbedaan-perbedaan dalam peradaban. Perbedaan tersebut kadangkala
dapat memicu terjadinya pertarungan. Namun, ada kalanya pertarungan peradaban
tidak perlu dilakukan. Terlebih jika peradaban yang ada dapat hidup
berdampingan, terjadinya dialog, dan saling memberi. Tetapi, tetap saja, kita
sebagai umat muslim tidak boleh melupakan agenda besar dibalik globalisasi.
Pertarungan yang terjadi dapat berupa
pertarunga ideology, dan perebutan pengaruh antara antara Islam dan
Globalisasi. Globalisasi direpresentasikan melalui perdaban Barat dengan spirit
modernitasnya, yang dalam banyak wilayah tidak sejalan dengan prinsip Islam.
Sehingga dalam banyak perjalanan globalisasi, Islam kerap berbenturan dan atau
bersilang pendapat dengan Barat. Dalam keadaan seperti ini Islam harus mampu
menemukan jati dirinya ditengah menguatnya arus globalisasi yang mengancam
kepunahan agama, tentunya agar Islam mampu bertahan hingga akhir zaman.
b. Benturan Islam dengan
Barat
Benturan Islam dan Barat (globalisasi)
merupakan isu yang selalu hangat diperbincangkan. Dengan latar
belakang budaya dan ideologi yang khas di antara keduanya. Dan disinalah akan
dikupas secara mendalam apakah keduanya bisa berjalan secara harmonis,
bagaimana globalisasi dengan segala kekuatannya dan Islam yang memiliki setting
dan alasan tersendiri yang berbeda keberadaannya. Hal ini disebabkan karena
sementara agama bertumpu pada apa yang disebut Rodulf Otto the Holy atau the
sacred dan bersifat holistik, sedangkan globalisasi dengan segala
prangkatnya yang bertumpu pada pandangan dunia sekuler yang justru menyisihkan
segala bentuk sakralitas.[3]
Islam adalah kekuatan dinamis masyarakat
muslim yang mengendalikan segala aspek kehidupan, mulai dari cara berpakaian,
pergaulan, budaya, politik, keilmuan dan seterusnya. Kekuatan dinamis itu akan
terus ada sekaligus menjadi ciri khas bagi mereka. Namun, beberapa persoalan
penting juga muncul bersamaan dengan perkembangan situasii dan zaman[4].
Sebagaimana pada era globalisasi ini, dimana muncul ketegangan baru antara
Islam dengan Barat. Keduanya seolah berhadapan sebagai lawan yang saling
menghancurkan. Apakah demikian? Nah, disinilah kita dituntut untuk mengetahui
apakah diantara keduanya bisa berjalan sejajar atau setidaknya Islam dapat
mengimbangi posisinya dalam arus keganasan globalisasi yang terjadi saat ini.
Sebagai umat islam secara terang-terangan
menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran dalam merespon setiap pemikiran dan
aliran baru yang merambah dunia islam, baik di bidang ekonomi, politik dan
lain-lain, yang berasal dari Timur maupun Barat. Dari kekhawatiran tersebut,
mereka kemudian cendrung bersifat resisten demi melindungi nilai-nilai luhur
agama dan identitas umat islam dari pengaruh politik negatif berbagai pemikiran
dan aliran baru. Bahkan sampai tingkat tertentu, mereka berkeyakinan bahwa
semua itu merupakan sebuah perang atau konspirasi terencana untuk menghancurkan
islam dan identitas kaum muslimin.
Sementara pada saat yang sama, kita melihat
sebagian umat islam yang lain cendrung menerima apa yang datang dari Timur
maupun dari Barat tanpa reserve. Mereka mengelu-elukan hal itu
dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok yang bodoh,
konservatif, dan terbelakang. Menurut pandangan mereka, segala sesuatu yang
datang dari negara-negara maju merupakan faktor yang menjamin terselenggaranya
kemajuan dan perkembangan[5].
Namun untuk memposisikan Islam dalam tantangan
arus global tersebut sejatinya umat islam tidak terjebak dan terburu-buru dalam
merespon. Sebagaimana tercermin dari dua kelompok umat islam di atas, yang
kecendrungannya menerima dan menolak secara mutlak setiap pemikiran dan aliran
yang timbul di Timur dan di Barat.
Memang umat islam dituntut untuk bersikap,
tapi dengan kewaspadaan yang kuat, dalam artian tidak sertamerta menutup setiap
yang dibawa oleh aliran-aliran yang datang dari Timur dan barat, serta tidak
membuka pintu lebar-lebar terhadap kemajuan yang dibawa oleh arus globalisasi
tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam memandang persoalan tersebut, umat islam
harus lebih kritis dengan menelaah setiap persoalan yang berkembang dari segala
sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau menolak arus baru yang datang
tanpa disetai kesadaran yang utuh. Oleh karena itu Mahmud Hamdi Zaqzuq
memberikan catatan penting yang harus digaris-bawahi dengan tegas.Pertama, bahwa
islam sebagai agama – bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporal
belaka – seharusnya tidakperlu mencemaskan aliran-aliran pemikiran baru dari
luar, kareana ia memiliki basis sejarah yang kokoh dan landasan
kuat, yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran baru yang bermunculan. Kedua, harus
disadari bahwa globalisasi merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin ditolak.
pada mulanya, ia merambah lewat jalur ekonomi, kemudian melebar ke jalur
politik dan budaya, sehingga akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah
fenomena tak terpungkiri yang muncul di hadapan kita. Ketiga, kita
tak bisa terus berpura-pura tidak tahu bahwa kita hidup bersama
komunitas-komunitas lain di dunia. Saat ini kita telah berada di era revolusi
komunikasi dan informasi, revolusi, tekhnologi serta era penuh keterbukaan yang
tak mungkin menyediakan peluang untuk mengisolasi diri kita[6].
Globalisasi merupakan fenomena yang tak
terbantahkan kedatangannya. Jika umat islam menutup diri dan acuh tak acuh sama
halnya dengan mengggali kuburan untuk kematiannya sendiri, sedangkan membuka
diri tanpa adanya filterisasi terhadap kedatangannya sama halnya menjelma
manusia robot yang dikontrol dan dikendalikan oleh kekuatan tekhnologi. Untuk
tidak terjebak pada keduanya, umat islam harus bersikap kritis terhadap
perkembangan yang dibawa oleh globalisasi.
Sejak zaman dahulu, umat islam telah mengambil
hikmah dari peradaban-peradaban lain, ketika mereka membangun tatanan
peradabannya. Dalam konteks ini, seorang filosof muslim terkemuka, Ibn Rusyd,
mengatakan bahwa syariat telah mengajarkan kita agar mebaca literatur-literatur
klasik. Dan secara otomatis ajaran ini tentu mengandung anjurkan kita untuk
membaca literatur baru di kemudian hari. Ibn Rusyd juga meneguhkan dengan
untkapannya, “kita perlu menelaah apa yang diucapkan oleh orang lain dan apa
yang mereka tulis dalam literatur-literatur mereka. Jika ada yang selaras
dengan kebenaran, maka harus diterima dengan senang hati. Tetapi, jika ada yang
bertentangan dengan kebenaran, maka kita harus berhati-hati dan
menghindarinya.”[7]
Dengan begitu secara otomatis Ibn Rusyd
mengiinkan umat islam untuk mengkritisi segala yang ditimbulkan oleh
globalisasi, termasuk kebudayaan-kebudayaan lain. Tentu dengan memfungsikan
akal dan fikiran, sehingga dengan masuknya kebudayaan modern kita tidak gagap,
kita bisa mengapresiasi dengan baik. Sebab Islam sebagai agama yang diturunkan
untuk mewujudkan kemaslahatan umat, tidak mungkin rasanya menolak secara
membabi-buta suatu kebudayaan yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Dengan
penyikapan yang kritis ini, kita dalam satu sisi kita tetap bisa menjaga
identitas kebudayaan sendiri, dan di sisi lain kita tidak terpinggirkan dari
perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup di dalamnya.
c. Menjaga eksistensi;
posisi dan sikap Islam terhadap Globalisasi
Banyak kalangan bingung memahami Islam dan
Muslim. Pemimpin kaum Muslim mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan
adil; namun Osama Bin Laden dan teroris Muslim lainnya secara global membantai
non-Muslim maupun Muslim. Presiden Goerge W Bush menyebut Islam sebagai agama
damai; penginjil Franklin Graham memandang Islam sebagai agama setan. Samuel
Huntington, profesor ternama dari Harvad dan penulis The Clash of Civilizations
menulis “Islam berlumur darah di luar dan dalam”. Tetapi sebagaimana
dikemukakan presiden Barrack Obama “Islam telah menunjukkan lewat kata-kata dan
perbuatan tentang peluang toleransi beragama dan kemitraan ras”[8].
Satu paragrap diatas menunjukkan realitas
multi wajah Islam dan Muslim dewasa ini. Di sisi lain, makna implisit yang
terkandung dalam satu paragrap diatas diatas adalah bahwasanya kehidupan
beragama kita (Islam) tengah berada di bawah bayang-bayang globalisasi.
Ketergantungan hidup terhadap globalisasi, pada gilirannya akan berpengaruh
terhadap “cara pandang” (paradigma) beragama kita. Lalu muncul pertanyaan,
sejauh mana Islam dengan ajaran-ajaran agamanya mampu bertahan di tengah
kehidupan global yang modern? Di tengah kuatnya arus skularisasi?
Bila merujuk pada anasir-anasir para sosiolog
bahwasanya agama akan sulit untuk bertahan di abad dua puluh satu, cukup
membuat risau masyarakat beragama. Lihat saja penggalan kalimat terkenal “agama
adalah candu” yang dianggap menjadi saripati konsepsi Marxis tentang gejala
keagamaan. Ungkapan yang sama dapat kita temukan dalam tulisan-tulisan Kant,
Herder, Feuerbach, Bruno Bauer, juga Hencrich Heine[9].
Meski demikian, sampai hari ini; hari dimana
kita hidup di abad dua puluh satu, menunjukkan bahwa keberadaan agama-agama
khususnya Islam masih menampakkan eksistensinya. Tidak berniat menisbikan
ramalan sosiolog diatas, tapi fakta statistikal membeberkan bahwa Islam adalah
agama dengan penganut terbesar di dunia hari ini. Dan porsi terbesar dari 1,5
miliyar warga muslim dunia bukanlah bangsa Arab, melainkan Asia atau Afrika[10].
Fakta ini menunjukkan bahwa telah terjadi imgirasi besar-besaran umat Islam
bahkan hingga Eropa dan Amerika.
Dalam kondisi yang demikian, untuk menjaga
eksistensinya di era globalisasi Islam harus mampu menemukan posisi yang
strategis dan memberikan sikap yang tegas terhadap banjir bandang globalisasi.
Sikap yang bisa diambil oleh Islam dalam memandang globalisasi adalah mendukung, menolak,
atau kompromi.
Sikap mendukung mesti diambil Islam bila
Globalisasi yang dalam banyak tafsir lebih dilihat membawa dampak negativ, bila
dalam perjalanannya juga mengusung semangat perdamaian, toleransi beragama,
keadilan, dan sebagainya. Tidak ada alasan bagi Islam untuk menolak
spirit-spirit kehidupan yang demikian karena secara postulat keagamaan, Islam
juga mengajarkan hal demikian. Sikap menolak Islam akan terjadi bila globalisasi
memberikan dampak “tidak sehat” atas kehidupan manusia; mengusung semanagat
skularisasi misalnya, dimana hal ini jelas bertentangan dengan Islam. Yang
terakhir adalah sikap kompromi, jalan alternatif ini bisa diambil Islam bila
tidak mengambil dua pilihan diatas. Sikap kompromi muncul karena keagamaan dann
peradaban manausia berinteraksi dengan begitu intens dan kontinou dalam dunia
global, sehingga Islam tidak bisa menutup mata dari kehadiran-kehadiran
pengaruh kekuatan luar. Sikap kompromi bukan berarti tunduk terhadap pengaruh
globalisasi sehingga Islam sekiranya perlu untuk mengambil posisi sebagai Counter
Hegemoni kekuatan globalisasi. Globalisasi mampu bermetamorfosis lebih
cepat dan memiliki kekuatan yang lebih tinggi, sehingga melawan globalisasi (bila
pun harus dilawan) tidak bisa dengan pola konfrontasi total, karena pada
akhirnya Islam akan terbawa dalam permainan globalisasi. Islam harus memiliki
opsi cerdas untuk menyelamatkan
eksistensinya.
Kesimpulan
Di abad dua puluh satu ini, kehidupan manusia
seakan tidak berjarak dan terus menerus melakukan interaksi yang intensif
secara global. Fakta ini mengantarkan manusia dalam meraih sederet perubahan
sosial yang banyak dipengaruhi oleh proses globalisasi. Di banyak bidang termasuk
agama, pengaruh globalisasi begitu kental.
Ada pengaruh yang baik dan juga pengaruh yang
kurang baik, dan dalam keadaan ambiguitas yang demikian kehadiran agama dengan
spirit keagamaan dan dengan mengusung norma-norma serta nilai-nilai agama
begitu dibutuhkan denagn maksud agar kehidupan sosial manusia dapat bertahan
dalam koridor-koridor yang telah di gariskan Tuhan melalui firmannya dalam
kitab suci agama-agama.
Islam adalah salah satu agama yang masih eksis
dan begitu besar penganut dan pengaruhnya dalam kehidupan global dewasa ini.
Islam harus mampu mencipatakan “Islamisasi Peradaban”, dengan meraih kemajuan
di bidnag ilmu pengetahuan. Dan tidak meciptakan “Islamofobia” yang hadir
dengan wajah fundamentalis nan ektrem yang justru akan memojokkan posisi Islam
di era ini. Dengan begitu, keyakinan akan eksistensi Islam sebagai agama hingga
akhir zaman meski dalam fase hidup yang telah memasuki era yang mutakhir, akan
terus tertanam dalam benak masyarakat dunia Muslim.
Daftar Pustaka
Sumber Informasi Wikipedia :
Penyusun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar